Terkadang, kesembuhan bukan didapatkan dari seberapa banyak obat yang telah kamu minum, melainkan dari seberapa besar tekadmu untuk sembuh serta seberapa luas kamu membuka pikiranmu.
Saya mengalaminya baru-baru ini. Tepatnya selama 2 pekan lalu, ketika saya sakit dan kondisi sembuh tak urung didapat. Saya telah mendatangi 2 dokter di 2 rumah sakit berbeda, mencoba berbagai resep, meminum berbagai obat alternatif. Tetap saja, qadarullah, hasilnya nihil. Justru, bagaimana entah saya merasa semakin tidak nyaman dengan tubuh saya sendiri.
Ditambah, kondisi psikis juga turut campur aduk seiring perubahan suhu badan saya. Pernah beberapa kali, saya tiba-tiba membentak adik saya hanya karena masalah kecil, atau juga ngambek kepada suami saya hanya karena dia terlihat asik main games di handphone.
Padahal jika dipikir lagi, betapa baiknya adik saya. Selama saya sakit, dia selalu berinisiatif memotong buah dan menyajikan susu atau madu untuk kakaknya ini. Soal makan, dia tidak pernah neko-neko. Pun ketika pagi saya tidak sempat membuat sarapan, dia tidak berkata apapun dan langsung pergi ke sekolah dengan santun.
Dan suami saya, bagaimana mungkin saya marah kepadanya? Padahal, setiap malam dia menemani saya ketika demam saya memuncak dan batuk saya semakin menjadi-jadi. Suami saya tidak pernah mengeluh lelah, padahal jam tidurnya jelas berkurang. Pun setiap sepulang kerja, dengan kondisi badan lelah, dia membantu saya mengerjakan semua pekerjaan rumah, termasuk memasak untuk kami bertiga. Jika saya merasa kehausan, tanpa saya minta, suami saya akan turun ke lantai bawah mengambilkan minum, sekalipun itu tengah malam. Di hari libur, waktu suami saya dihabiskan untuk merawat saya. Lagi-lagi tanpa mengeluh.
Oh, ada apakah sebenarnya dengan diri ini? Jerit saya dalam hati.
Butuh waktu yang cukup lama hingga akhirnya saya tersadar dan menemukan jawaban yang saya cari-cari. Dari berkali-kali melakukan kontemplasi, saya beranikan diri mengambil kesimpulan ini: Sejatinya, selama 2 pekan itu bukan fisik saya yang sedang sakit, melainkan jiwa saya.
Mengapa demikian?
Sains membuktikan, 65% kondisi fisik seseorang dipengaruhi oleh pikirannya. 65% adalah angka yang besar. Tak ayal tubuh saya sulit sehat, sebab jiwa saya sendiri juga sedang sakit.
Memang, akhir-akhir ini saya merasa bahwa Allah sedang menguji kemampuan saya. Saya menerima banyak hal yang membuat hati saya janggal, memikirkannya, tetapi tidak pernah saya selesaikan. Ya, semua hanya saya simpan rapat-rapat. Barangkali, itu yang membuat lambat laun masalahnya justru membesar, sedang saya sendiri memiliki batas kekuatan.
Dari sana, saya coba berdiskusi dengan suami. Saya membuka pikiran saya, mengakui dengan renda hati bahwa apa yang telah saya lakukan merupakan sebuah kesalahan. Saya membangun tekad, bahwa saya harus sembuh dengan cara belajar menyelesaikan setiap permasalahan yang saya terima. Dan tentu, mendapati diri dibersamai oleh seseorang yang sangat setia dan bijaksana memberikan tambahan kekuatan tersendiri.
Kalau tidak salah, semua diskusi itu berlangsung hari Sabtu lalu, ketika saya dan suami sedang di perjalanan menuju RS Mitra Keluarga (RS ketiga yang hendak kami datangi). Berbekal tekad itu, tiba-tiba saya memutuskan untuk membatalkan kunjungan kami ke RS tersebut. Sebaliknya, saya dan suami malah pergi ke Cipinang Mall demi memenuhi kebutuhan saya untuk mendapatkan makanan enak.
Singkat cerita, Ahad pagi, bagai sebuah mukjizat alhamdulillaah saya merasakan badan saya amat segar. Saya mampu melakukan banyak hal, dan nilai plusnya adalah ada rasa kebahagiaan yang membuncah di hati saya. Hey, I am so happy to see you, Honey :) *lirik suami yang baru bangun pagi dengan wajah yang aduhai nampak rupawan
Ah, sungguh indah Allah mengajarkan manusia, melalui cara yang tidak disangka-sangka....
Saya mengalaminya baru-baru ini. Tepatnya selama 2 pekan lalu, ketika saya sakit dan kondisi sembuh tak urung didapat. Saya telah mendatangi 2 dokter di 2 rumah sakit berbeda, mencoba berbagai resep, meminum berbagai obat alternatif. Tetap saja, qadarullah, hasilnya nihil. Justru, bagaimana entah saya merasa semakin tidak nyaman dengan tubuh saya sendiri.
Ditambah, kondisi psikis juga turut campur aduk seiring perubahan suhu badan saya. Pernah beberapa kali, saya tiba-tiba membentak adik saya hanya karena masalah kecil, atau juga ngambek kepada suami saya hanya karena dia terlihat asik main games di handphone.
Padahal jika dipikir lagi, betapa baiknya adik saya. Selama saya sakit, dia selalu berinisiatif memotong buah dan menyajikan susu atau madu untuk kakaknya ini. Soal makan, dia tidak pernah neko-neko. Pun ketika pagi saya tidak sempat membuat sarapan, dia tidak berkata apapun dan langsung pergi ke sekolah dengan santun.
Dan suami saya, bagaimana mungkin saya marah kepadanya? Padahal, setiap malam dia menemani saya ketika demam saya memuncak dan batuk saya semakin menjadi-jadi. Suami saya tidak pernah mengeluh lelah, padahal jam tidurnya jelas berkurang. Pun setiap sepulang kerja, dengan kondisi badan lelah, dia membantu saya mengerjakan semua pekerjaan rumah, termasuk memasak untuk kami bertiga. Jika saya merasa kehausan, tanpa saya minta, suami saya akan turun ke lantai bawah mengambilkan minum, sekalipun itu tengah malam. Di hari libur, waktu suami saya dihabiskan untuk merawat saya. Lagi-lagi tanpa mengeluh.
Oh, ada apakah sebenarnya dengan diri ini? Jerit saya dalam hati.
Butuh waktu yang cukup lama hingga akhirnya saya tersadar dan menemukan jawaban yang saya cari-cari. Dari berkali-kali melakukan kontemplasi, saya beranikan diri mengambil kesimpulan ini: Sejatinya, selama 2 pekan itu bukan fisik saya yang sedang sakit, melainkan jiwa saya.
Mengapa demikian?
Sains membuktikan, 65% kondisi fisik seseorang dipengaruhi oleh pikirannya. 65% adalah angka yang besar. Tak ayal tubuh saya sulit sehat, sebab jiwa saya sendiri juga sedang sakit.
Memang, akhir-akhir ini saya merasa bahwa Allah sedang menguji kemampuan saya. Saya menerima banyak hal yang membuat hati saya janggal, memikirkannya, tetapi tidak pernah saya selesaikan. Ya, semua hanya saya simpan rapat-rapat. Barangkali, itu yang membuat lambat laun masalahnya justru membesar, sedang saya sendiri memiliki batas kekuatan.
Dari sana, saya coba berdiskusi dengan suami. Saya membuka pikiran saya, mengakui dengan renda hati bahwa apa yang telah saya lakukan merupakan sebuah kesalahan. Saya membangun tekad, bahwa saya harus sembuh dengan cara belajar menyelesaikan setiap permasalahan yang saya terima. Dan tentu, mendapati diri dibersamai oleh seseorang yang sangat setia dan bijaksana memberikan tambahan kekuatan tersendiri.
Kalau tidak salah, semua diskusi itu berlangsung hari Sabtu lalu, ketika saya dan suami sedang di perjalanan menuju RS Mitra Keluarga (RS ketiga yang hendak kami datangi). Berbekal tekad itu, tiba-tiba saya memutuskan untuk membatalkan kunjungan kami ke RS tersebut. Sebaliknya, saya dan suami malah pergi ke Cipinang Mall demi memenuhi kebutuhan saya untuk mendapatkan makanan enak.
Singkat cerita, Ahad pagi, bagai sebuah mukjizat alhamdulillaah saya merasakan badan saya amat segar. Saya mampu melakukan banyak hal, dan nilai plusnya adalah ada rasa kebahagiaan yang membuncah di hati saya. Hey, I am so happy to see you, Honey :) *lirik suami yang baru bangun pagi dengan wajah yang aduhai nampak rupawan
Ah, sungguh indah Allah mengajarkan manusia, melalui cara yang tidak disangka-sangka....
Comments
Post a Comment