Malam
ini entah kenapa saya ingin membahas sedikit tentang masa muda saya. Yah setidaknya
saya pernah merasa muda :D #eaaaa
Mari
sejenak bernostalgia.
Beberapa
waktu lalu, di hari bahagia saya, lagi-lagi saya mendapatkan sebuah pesan yang
tidak terduga. Sebut saja itu pesan cinta (?). Jika biasanya pesan itu
disampaikan melalui surat-surat yang sesungguhnya tidak sempat saya baca (dan saya
pun enggan membacanya), kali ini pesan itu datang dengan cara dititipkan via
whatsapp kepada salah satu adik tingkat saya di kampus. Sungguh, saya tidak
paham lagi kemana harus menaruh muka saya ini. Saya malu. Sungguh-sungguh malu.
Hmmmm
pertama kali saya mendapatkan surat cinta, jika saya tidak salah ingat, adalah
ketika saya masih duduk di bangku SMP. Saya lupa tepatnya kelas berapa. Waktu itu
saya sering bertanya-tanya, kenapa orang-orang mau berepot-repot menulis
panjang lebar menceritakan hal yang sesungguhnya tidak saya pahami isinya? Kenapa
tidak langsung saja bicara di depan saya? Toh saya masih bisa ditemui kapan
saja. Dan yang paling penting, kadang saya ingin meminta mereka melakukan hal
lain dibanding menulis surat-surat itu, yaitu membawakan saya majalah Bobo yang
saat itu sedang gemar-gemarnya saya baca.
Teman-teman
dekat saya seharusnya tahu seperti apa perangai saya dahulu. Saya bukan tipikal
orang yang mudah bermelankolis ria terhadap lawan jenis. Bahkan saya cenderung
tidak peka. Surat cinta tidak akan mampu membuat saya merasa bersimpati, tentu
saja. Ketika saya membaca pesan yang ditujukan terhadap saya, dibanding
menelaah maksudnya, saya lebih sering mengoreksi sistematika penulisan dari
surat-surat tersebut. Saya mudah illfeel dengan mereka yang tidak paham
bagaimana merangkai kalimat dengan benar, menaruh tanda baca, atau sekedar
membedakan kapan harus membubuhkan tanda titik (.) dan tanda koma (,). Tapi yang
paling lucu, selain mengoreksi penulisan, saya justru balik bertanya kepada
teman-teman saya atau guru-guru saya di sekolah, yaitu tentang apa yang harus
saya perbuat setelah membaca surat-surat tersebut. Tentu saja teman-teman dan
guru-guru saya hanya akan tertawa dan menepuk pundak saya begitu keras. Ah,
Sih, kenapa pula kamu harus tumbuh begitu polos?
Saya
tidak terbiasa dan tidak mudah bagi saya membaca pesan cinta dari seorang
laki-laki. Seringnya saya merasa malu setelah membacanya. Saya tidak seistimewa
itu hingga harus mendapatkan perhatian yang lebih. Saya hanya perempuan biasa
yang ingin dicintai dengan cara yang biasa pula. Kalaulah boleh saya katakan, jangan
tuliskan isi hatimu di atas kertas, tapi tuliskan pesan itu di ketinggian
langit di sepertiga malam, agar pada akhirnya tidak ada lagi rasa malu di
antara kita melainkan keberkahan dan rasa tentram di setiap proses penempaan
rasa. Bukankah lebih indah dan lebih hebat ketika terhadap perasaan tidak halal
kita pun, Allah lah yang langsung menjaga dan mengaturnya? *Nahloh malah
ngarep*
Yah
begitulah. Saya tidak habis pikir kenapa di usia saya yang sudah tua ini masih
saja saya harus disibukkan dengan perkara pesan cinta? Aduh, Asih, nampaknya
kamu belum lulus ujian. Hmmm iya benar, kamu belum lulus ujian *sigh*
Comments
Post a Comment