Beberapa waktu lalu,
terjadi perdebatan hebat mengenai sistem
demokrasi yang kini banyak diterapkan di sebagian besar belahan dunia, termasuk
Indonesia. Beberapa opini mencuat dari kalangan aktivis dakwah yang menyatakan
demokrasi sebagai sistem yang haram untuk dianut. Tidak tanggung-tanggung,
beberapa di antaranya menyatakan diri sebagai penganut ideologi anti-demokrasi.
Alhasil, pada peristiwa pemilihan gubernur lalu (Pilgub Jabar), banyak kalangan
yang mengakui dirinya sebagai anti-demokrasi tersebut memilih untuk
menggugurkan hak pilihnya dengan dalih menaati sistem Islami.
Sejujurnya,
kukatakan, aku hanya orang awam yang mengambil segala keputusan dengan
berlandaskan pada realita dan rasionalitas semata. Banyak hal yang belum
terkupas secara dalam melalui telusuran ayat-ayat Nya maupun hadits-hadits
shahih terpercaya. Aku selalu menyanjung para petinggi-petinggi Islam yang
namanya kian tersohor di Indonesia tanpa memedulikan latar belakang maupun
landasan yang diambilnya. Aku hanya tahu, petinggi-petinggi itu diteladani oleh
masyarakat. Sehingga dengan demikian, kujadikan mereka sebagai pondasi
anutanku.
Ada sedikit gurat
kecewa yang tampak pada dahi ini saat kuketahui bahwa orang-orang terdekatku
mengabaikan pilgub 2013 lalu. Aku mengerti bahwa setiap orang memiliki landasan
ideologi masing-masing sebagai ajang diri dalam memutuskan maupun memberikan pendapat.
Namun entah mengapa hatiku masih tidak bisa menerima bahwa banyak orang memilih
mundur berperang hanya karena sistem ideologi yang tak sama, bahkan beberapa di
antaranya secara terang-terangan mengajak pada kawan-kawannya untuk menganut
keputusan yang sama.
Aku mengerti bahwa
demokrasi bukanlah sistem yang pantas diterapkan di Indonesia, mengingat bahwa
masyarakat Indonesia mayoritasnya adalah umat Islam. Namun dengan mengabaikan
sistem yang kini tengah menggandrungi negara ini, haruskah kita mundur dan memilih
sikap 'tak mau tahu'?
Wallahu a'lam...
Comments
Post a Comment