Hi :)
Alhamdulillah sepertinya mulai memasuki musim penghujan. Setelah lama bertahan dengan matahari panas nan terik, akhirnya bisa merasakan sore hingga pagi yang sejuk dengan syahdu-nya rintik hujan. Bau tanah basah, dedaunan yang menghijau, juga semilir angin menambah kerinduan akan polos dan indahnya masa kecil di desa dulu. Kamu juga kah?
Ah iya, kali ini saya ingin berbagi sedikit catatan ilmu yang saya terapkan selama mengasuh tiga anak. Masih trial dan error sih, tapi semoga bisa memberikan manfaat buat kamu yang membaca. Topiknya khusus tentang sibling relationship atau hubungan kakak beradik.
Pertama saya aware itu gegara pernah dinasihati oleh saudara, katanya khawatir melihat interaksi Tisya dan Hafshah yang dorong-dorongan di suatu acara keluarga suami (Saat itu kondisi saya sedang hamil Musa). Khawatir terbawa sampai dewasa ceunah. Walau poin pembenaran selalu ada ya, karena mereka memang selisih hanya satu setengah tahun dan saat itu masih sama-sama balita yang notabene bercandanya masih dengan interaksi fisik.
Kami paham bahwa kami tidak berkuasa dalam memastikan anak-anak kami memiliki hubungan persaudaraan yang baik. Sebab bagaimanapun, anak-anak kami adalah manusia biasa yang memiliki perasaan dan tekad masing-masing. Namun yang bisa kami lakukan hanyalah berusaha mencegah hubungan yang buruk melalui beberapa pendekatan.
Pendekatan pertama, dengan cara mencoba memahami perbedaan karakter masing-masing anak. Mudahnya, yaitu dengan mencari tahu love language mereka masing-masing. Misal, dari pengamatan kami Tisya yang cenderung lebih butuh banyak berdiskusi, menjawab berbagai pertanyaannya dari yang sepele hingga pertanyaan kritis yang kami pun tidak tahu jawabannya. Berbeda dengan Hafshah dan Musa yang lebih suka sentuhan fisik dan hadiah-hadiah kecil. Dengan memahami perbedaan love language, kami optimalkan respons kami sebagai orang tua terhadap kebutuhan tangki cinta masing-masing anak. Tangki cinta mereka yang penuh bagaimana entah membuat respons mereka terhadap saudaranya menjadi lebih lunak dan kooperatif.
Pendekatan kedua, dengan cara kami memberikan hak privasi kepada semua anak secara merata. Masing-masing anak memiliki hak terhadap barang-barang miliknya, termasuk penjadwalan screen time (TV di rumah). Jika anak lain ingin pinjam atau meminta sesuatu maka wajib meminta izin, tidak terkecuali Musa yang baru berusia 2 tahun. Tentu Musa sambil kami ajari cara meminta izin yang baik. Tidak ada paksaan untuk mengalah, berlaku untuk kakak maupun adik. Jika ada yang melanggar atau mengambil tanpa izin, maka kami sebagai orang tua yang akan langsung menegur. Alhamdulillah aturan ini berlaku sampai hari ini dan semua mengerti dengan baik. Positifnya, dengan cara ini justru anak-anak jadi senang berbagi dan saling pengertian.
Pendekatan ketiga, kami jarang intervensi ketika ada konflik antar saudara kecuali ketika sudah melibatkan fisik atau salah satu maupun keduanya meminta bantuan orang tua. Menurut kami, adanya konflik antar saudara juga bisa menjadi salah satu ajang pendewasaan anak. Mereka jadi belajar mengatasi masalahnya sendiri, juga jadi lebih paham tentang pentingnya komunikasi yang baik kepada saudara. Pun ketika kami sudah terlibat tentu kami harus lebih objektif melihat masalah, kakak dan adik memiliki potensi yang sama untuk ditegur ketika salah. Alhamdulillah, dengan demikian minim terjadi persaingan antar saudara. Kami yakin, bahwa terjadinya persaingan atau hubungan persaudaraan yang buruk dimulai dari tidak adilnya perlakuan orang tua terhadap anak-anaknya.
Pendekatan keempat, yaitu dengan menumbuhkan rasa kepemimpinan kakak. Maksudnya, kami memberikan hak kepada Tisya sebagai anak tertua untuk memimpin adik-adik dalam berbagai kegiatan, termasuk dalam membagi makanan bersama. Kami membuat aturan bahwa adik tidak boleh meninggikan suara apalagi memukul kakak. Kami melihat bahwa dengan membesarkan hati dan rasa kepemimpinan anak yang lebih tua, dengan sendirinya kakak akan memiliki sifat mengayomi terhadap adik-adiknya sekaligus menumbuhkan rasa hormat dari adik kepada kakak-kakaknya. Hal ini akan diteruskan berjenjang, Tisya terhadap Hafshah, lalu berlaku dari Hafshah terhadap Musa. Beberapa waktu lalu, bahkan saya melihat ketika Tisya pergi mengikuti acara sekolah, ternyata adik-adik merasa kehilangan dan terus menanyakan dimana kakaknya. Masya Allaah...
Pendekatan kelima, ini yang paling penting, yaitu dengan lebih banyak mengobrol dan menghabiskan waktu bersama anak. Sebab bagaimanapun, pesan dan pendidikan yang paling efektif menurut saya disampaikan melalui kegiatan mengobrol. Obrolannya tentu berisi pendidikan dan renungan atau introspeksi namun dikemas dengan bahasa yang ringan. Yuk orang tua, lebih banyak lagi luangkan waktu untuk mengobrol bersama anak :)
Nah, sekian catatan kecil dari saya ya. Semoga membantu! ^^
Comments
Post a Comment