Saat saya menulis kata demi
kata yang mengganggu di kepala, matahari di desa Babakan sudah beringsut menuju
puncak. Cicit demi cicit beragam spesies aves bersahutan layaknya pertunjukkan
orkestra pagi. Babakan riuh-rendah bergemuruh oleh keramaian. Rupanya sebagian
besar tetangga masih sibuk dengan euforia lebaran, apalagi anak-anak yang
antusias memakai setelan baju baru keduanya di hari ini. Sepagi tadi saja, saat
saya mengantar Alif ke sawah, sepupu-sepupu perempuan saya yang masih muda
nampak saling bercanda, entah kenapa berdandan menggunakan kerudung menjadi
permainan asik tersendiri bagi mereka. Agar lebih seru, saya hanya mencandai “Duh
perawan cantik mau ke mana hari ini?”, lalu mereka terbahak dan saling lirik menuduh
satu sama lain.
Nuansa berbeda nampak dari
rumah Uwak yang berada persis di sebelah rumah saya. Rumah tersebut masih ramai
dikunjungi warga kampung sejak kemarin lusa, tangkapku mungkin sebagai ungkapan
turut berduka atas kondisi sakit Uwak Nani yang semakin hari tak kunjung
menemukan kepastiannya. Beberapa anak muda silih berganti mengaji di sekitar
Uwak, membuat suara-suara bergema syahdu kala malam mulai menampakkan
heningnya. Sebenarnya kemarin sore saya masih setia duduk-duduk di sana, di
sela-sela keramaian ikut melantunkan beberapa baris ayat suci Al Qur’an. Tapi
rasa malu tiba-tiba menyergap hingga akhirnya saya memilih pulang dan mengaji
di rumah saja. Ya, bagi saya, anak perempuan mengaji di sekitar kaum lelaki
masih menjadi hal tabu untuk dilakukan. Malu sekali.
Pagi-pagi begini, udara
dingin Babakan menambah kegundahan hati saya. Selain di permukaan kulit,
ternyata ia juga bisa mengganggu sampai ke kepala. Ah, kenapa pula bisa begitu?
Saya pun tak tahu.
Sejak kepulangan saya ke
Babakan Selasa kemarin, saya telah menemui banyak orang tua yang ramah menyapa
dan bermurah hati mendoakan saya. Bahkan Rabu subuh saat saya dan Ummi berjalan
santai di jalan raya, saya tak sengaja bertemu dengan Ummi Eni, guru mengaji
saya di TPA dahulu. Ummi Eni tak segan memeluk dan memberikan wejangan panjang
lebar. Beliau menitipkan pesan agar saya tak segan meraih sukses, memberikan harapan baru bagi pemuda-pemuda
kampung Babakan. Tanggapan saya? Saya hanya tersenyum ciut dan menguatkan hati
diam-diam. Aduh, berat, berat ><
Sejujurnya terkadang saya
merasa malu pada diri sendiri. Kerap kali sebuah mimpi besar enggan tercapai
hanya karena keengganan pada diri untuk memulai. Kadang karena merasa belum
siap, minder, merasa kurang terfasilitasi, dan segudang alasan lain yang
membuat diri menunda dan terus menunda. Memang benar kata pepatah “Pendakian
gunung selalu dimulai oleh satu langkah, tapi langkah pertama itu tak akan
mudah bagi mereka yang enggan memulai”.
Hei, Sih, kamu (masih)
manusia kan? Ayo bangun!
Comments
Post a Comment