Skip to main content

Sebuah Diskusi

Kembali saya ditempatkan dalam sebuah diskusi panjang mengenai pembentukan mindset. Yang jelas di sini basisnya harus kuat secara akliyah maupun nakliyah, dan jelas pula, bahwa rambu yang dipakai adalah keniscayaan dari hukum Allah.

Dalam beberapa dekade, ada berbagai kelompok yang masih larut dalam aktivitas pencariannya masing-masing. Pada episode ini, bagian kita adalah menyusun strategi sebaik mungkin untuk mendapatkan bonus demografi yang memadai. Terutama di Indonesia yang modal angka harapannya relatif mampu menunjang rekonstruksi-rekonstruksi penemuan yang selama ini sudah cukup banyak dilewatkan. Bukan justu berkutat dalam hal-hal cabang yang seringnya menjadi sebuah isu perdebatan.

Saya menangkap ada cukup banyak ideologi yang entah mengapa memaksakan diri untuk diterapkan. Analoginya, seperti burung yang terbang melintas ke luasan dunia namun tidak kunjung menemukan pijakan karena ia terlanjur merasakan diri terlalu besar untuk hinggap di salah satu pohon tersebut. Beberapa kelompok masih berkutat menjejalkan ideologinya untuk tersebar dengan jangkauan yang luas, enggan menempatkan diri pada hubungan mutualisme dengan kelompok lain, hingga pada akhirnya tidak ada perkembangan yang didapatkan melainkan kelelahan dan kebingungan arah capaian.

Nah, hal ini kita kembalikan kepada pembentukan mindset. Mungkin benar bahwa hal ini kurang lebih disebabkan adanya jarak yang kita buat terhadap Al Qur’an. Terlalu sering kita mengubah fungsi dan perannya, yang pada akhirnya hanya mampu menjadikan Islam sebagai pseudoagama, yang dilihat dari ciri khas rupa, tanpa melihat esensi yang seharusnya menjadi bahasan utama dalam membuat sebuah perencanaan. Hingga muara yang dihasilkan adalah, kita tidak mampu membedakan mana kawan dan mana lawan.

Beberapa waktu lalu, saya dihubungkan kembali dengan seorang mentor saya ketika masih culun dahulu. Beliau berbicara tentang ilmu filsafat, bahwa seringnya sebuah serempetan kecil justru menimbulkan huru-hara, padahal penyampaian filsafat bukan dilihat dan pemaknaan harfiah secara absolut. Kemudian beliau berbicara banyak mengenai kebutuhan mendasar manusia, yaitu kembali pada fitrah, mengisi diri dengan kapasitas-kapasitas spiritual. Hal tersebut mengingatkan kembali saya kepada sebuah teori Suhukuri, sebuah teori yang diperkenalkan oleh seorang petinggi di YPM Salman ITB, kurang lebih isinya adalah tentang kebutuhan manusia untuk melawan. Beragama itu harus berargumen. Hal ini adalah kebutuhan dasar. Tapi waktu dan isi dari argumentasi dilihat dari seberapa besar urgensi seseorang untuk memberikan argumen, bukan disampaikan secara meluap kemana saja tanpa terarah.

Bukan kapasitas saya untuk membahas per masing-masing kelompok yang dewasa ini tengah banyak diperbincangkan. Karena meski tanpa dirangkai dalam sebuah tulisan khusus, artikel-artikel tentang mereka sudah cukup banyak tersebar di media sosial, termasuk di dinding kronologi saya. Sebutlah Syiah, FPI, JIL, Salafy, empat kelompok besar yang sering menuai puji pula hujatan, lalu disandingkan lagi dengan kelompok-kelompok lain dari Hizbut Tahrir, Tarbiyah, MPI, dan lain sebagainya. Saya tidak tertarik untuk membandingkan kelompok-kelompok tersebut, dan bukan pula bagian saya untuk mengkritisi dan memberikan mark point untuk masing-masing kelebihan dan kekurangan dari kelompok-kelompok tersebut. Kita tinggalkan saja bahasan tentang ini.


Saya tengah tertarik dengan sebuah isu terkait ‘bonus demografi’. Sebuah kalkulasi besaran angka produktif di Indonesia, yang berdasarkan suatu referensi telah berlangsung sejak 2012 dan akan memuncak di 2020 mendatang. Indonesia mempunyai sumber daya-sumber daya manusia yang cukup melimpah, namun belum ada jaminan bahwa angka yang cukup besar itu mendapatkan tampungan memadai dan tepat. Padahal, adalah sebuah rahasia bersama bahwa manusia usia produktif itu seperti besi, yang kuat ketika ditempa dan dipoles namun korosif ketika dibiarkan begitu saja.

Saya mencoba merunutkan garis besar strategi dalam menaikkan pemanfaatan sumber daya tersebut. Terutama bagi mahasiswa yang mayoritas seharusnya memiliki kontribusi lebih tinggi dalam merubah fenomena karakter konsumen di Indonesia menjadi masyarakat beradab berkarakter produsen. Namun sayang, nampaknya kapasitas saya masih saja sebatas kulit kacang, tidak sampai pada inti rencana dan gagasan konkret. Mari bangun dan berpikir!

Comments

Popular posts from this blog

Tahapan Kaderisasi

Kader berasal dari bahasa Yunani cadre yang berarti bingkai. Bila dimaknai secara lebih luas, berarti : Orang yang mampu menjalankan amanat. Orang yang memiliki kapasitas pengetahuan dan keahlian. Pemegang tongkat estafet sekaligus membingkai keberadaan dan kelangsungan suatu organisasi Kader adalah ujung tombak sekaligus tulang punggung kontinyuitas sebuah organisasi. Secara utuh kader adalah mereka yang telah tuntas dalam mengikuti seluruh pengkaderan formal, teruji dalam pengkaderan informal dan memiliki bekal melalui pengkaderan non formal. Dari mereka bukan saja diharapkan eksistensi organisasi tetap terjaga, melainkan juga diharapkan kader tetap akan membawa misi gerakan organisasi hingga paripurna. Pengakaderan berarti proses bertahap dan terus-menerus sesuai tingkatan, capaian, situasi dan kebutuhan tertentu yang memungkinkan seorang kader dapat mengembangkan potensi akal, kemampuan fisik, dan moral sosialnya. Sehingga, kader dapat membantu orang lain dan diri...

Tazkiyatun Nafs

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa (orang) memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Hasyr: 18) Ayat di atas dimulai dengan perintah bertaqwa kepada Allah dan diakhiri pula dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berpikir, serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah diisi dengan taqwa. Kemudian ayat di atas juga menjelaskan kepada orang yang mengaku beriman kepada Allah agar mempunyai langkah antisipatif terhadap kemungkinan apa yang terjadi esok. Syeikh Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam bukunya ‘Ruhniyatut Da’iyah’ mengajarkan kepada kita bagaimana meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT dengan cara melaksanakan lima ‘M’ yaitu: Mu’ahadah, muraqabah, muhasabah,  mu’aqabah dan mujahadah. Mu'ahadah Mu'ahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali ...

Pangan Fungsional

I.          Latar Belakang Salah satu penyebab meningkatnya penderita penyakit degeneratif di masyarakat adalah kerusakan sel tubuh sebagai akibat aktivitas unsur radikal bebas yang terdapat dalam bahan makanan. Keadaan ini bisa terjadi karena kurangnya asupan bahan-bahan aktif yang dapat mencegah reaksi autooksidasi dari radikal bebas tersebut. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dibutuhkan asupan makanan, baik berupa sayuran, buah-buahan yang merupakan sumber antioksidan. Aktivitas antioksidan dapat menangkap radikal bebas, sehingga sel-sel yang rusak dapat dicegah ataupun diperbaiki. Selain dari sayuran dan buah sumber antioksidan juga dapat berasal dari tanaman  obat, jahe, mengkudu, lidah buaya, pegagan, temulawak, asitaba dan lain-lain. Senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman tersebut dapat bermanfaat sebagai sumber antioksidan misalnya flavonoid, tanin, polifenol dan lain-lain. Tanaman biofarmaka yang berfung...