Skip to main content

(Masih) Clementine

Sampai detik ini, sosok Clementine itu masih jelas terpampang di depan mata, membentuk sintesa fatamorgana tunggal untukku. Kapan pertama kali ia melebur ke dalam ingatan, akupun tak tahu pasti. Hanya saja, dada ini sesak setiap kali ingat dan mengharapkannya kembali mengiringi setiap langkah kakiku yang gontai. Ya Tuhan, sejengkalpun aku tak pernah lupa paras cantiknya, matanya yang cokelat dan berbinar, kecerdasannya dalam berdialektika, caranya melangkah yang menyiratkan keanggunan dan kepastian, serta tawanya yang selalu terdengar renyah dan membuat hati nyaman.

Setidaknya, ada satu kebiasaanya yang kini enggan menjauh dariku. Aku suka menulis puisi sambil bersenandung lembut, hal yang dulu sangat disukainya setiap kali kami melakukan kunjungan ke rumah Bibi. Setelah selesai, kemudian melipat kertas-kertas puisi itu dan menyimpannya rapi, jauh dari jangkauan orang lain. Aku tahu persis bagaimana rasanya hati terguncang jika ada teman atau orang-orang di sekitar yang mencoba membaca dan mengamati isinya. Cukup memalukan.

Meski sayangnya, dulu aku tak pernah sadar. Sehingga di suatu hari kala keingintahuan itu terlalu besar, aku mencuri baca puisi-puisinya lalu tertawa di beberapa bagian yang menurutku cukup lucu untuk dibayangkan.  Ia mengkerut marah, tapi setelah itu ia justru menyodorkan puisinya secara sukarela untuk kubaca. Dan aku, aku selalu tak berkeberatan melakukan apapun demi membuatnya senang, termasuk membaca puisi-puisinya yang menurutku sedikit absurd. Imbalan yang cukup sepadan, aku kira.

Kami mempunyai sisi absurd yang sama, sebenarnya. Bedanya, jika ia menuangkan semuanya dalam bentuk puisi, aku menuangkan segala absurd itu dalam bentuk cerita dan lagu. Ia menutup sisi asli dari dunia luar, sebaliknya, aku begitu terbuka dan mengharapkan orang lain mengenal dan memahamiku.

“Kita memang disatukan untuk suatu tujuan, meskipun aku belum tahu apa tujuan itu”, sebuah kalimat yang dituliskannya di antara bait puisi yang ia ciptakan untukku. Oh Tuhan, sungguh, sosoknya yang begitu dramatik selalu mengalahkan karakterku yang spontan dan suka membual. Bahkan hari itu, aku bersungguh-sungguh menangis untuknya.

Persis di antara pukul satu hingga dua siang, usai sekolah, ia akan datang ke rumahku untuk sekedar membuatku menceritakan kejadian-kejadian di sekolah tadi pagi. Begitu setiap hari, hingga Ummi hafal betul kebiasaannya yang satu ini. Ia kadang datang sambil membawa buku peernya, lalu mengajariku beberapa mata pelajaran yang ia sukai. Ia satu tingkat di atasku, berbeda sekolah pula. Ia kelas satu SMP, sedangkan aku baru kelas enam SD. Jika mengajariku, ia benar-benar seperti guru, menjelaskan dengan rinci bagian ini dan itu, kadang bahkan ia menjewer kupingku kalau aku masih tidak mengerti setelah dua-tiga kali ia menjelaskan hingga mulutnya berbusa. Di waktu lain, ia datang sambil membawa gulali, jajanan favoritku. “Biar kamu lebih menghayati cerita”, katanya sambil tertawa cekikikan. Aku kurang menghayati, menurutnya. Ia mengeluh bahwa seringnya ketika bercerita, ekspresi dan jalan cerita yang kubawakan tidak singkron. Ceritaku selalu lucu dan konyol, tapi tatapanku selalu kosong dan intonasiku datar. Yah begitulah, kadang memang ia lebih detail dan bawel seperti ibu-ibu.

Setiap hari libur, ia selalu mengajakku ke rumah bibinya. Bibi tinggal di daerah pesawahan dan memiliki perkebunan jambu biji hingga berhektar-hektar luasnya. Setiap kali kami berkunjung, ia sering memaksaku ikut memanjat ke salah satu pohon, meski tak jarang aku menolaknya mentah-mentah. Aku takut ketinggian. Maka, jika aku sudah benar-benar tidak mempan dipaksa, ia mempersilakanku berselonjor kaki di bawah pohon, sedangkan ia dengan lincah memetik beberapa buah jambu yang sudah matang untukku.

“Sih, kalau aku pergi, kamu mau menulis satu saja puisi untukku tidak?” katanya pada suatu hari. Aku terlalu asik memakan buah jambu, tidak sempat memperhatikan raut wajahnya yang serius. “Mungkin, asalkan kamu bawakan aku sekantong besar gulali” kataku asal, tertawa sendiri membayangkan betapa lucunya saat seseorang sepertiku benar-benar menuliskan sebuah puisi. Ia diam.

“Oh Tuhan! Lihat, yang itu besar sekali!” Kataku spontan sambil menunjuk buah jambu besar di salah satu cabang. Ia mendongak. Setelah tahu kemana arah telunjukku, ia bergegas memetiknya. Pertanyaan tadi terhenti, lalu kami tidak pernah lagi membahasnya, bahkan hingga hari kepergiannya tiba.
Oh Tuhan, andai saja aku tahu...

Comments

Popular posts from this blog

Tahapan Kaderisasi

Kader berasal dari bahasa Yunani cadre yang berarti bingkai. Bila dimaknai secara lebih luas, berarti : Orang yang mampu menjalankan amanat. Orang yang memiliki kapasitas pengetahuan dan keahlian. Pemegang tongkat estafet sekaligus membingkai keberadaan dan kelangsungan suatu organisasi Kader adalah ujung tombak sekaligus tulang punggung kontinyuitas sebuah organisasi. Secara utuh kader adalah mereka yang telah tuntas dalam mengikuti seluruh pengkaderan formal, teruji dalam pengkaderan informal dan memiliki bekal melalui pengkaderan non formal. Dari mereka bukan saja diharapkan eksistensi organisasi tetap terjaga, melainkan juga diharapkan kader tetap akan membawa misi gerakan organisasi hingga paripurna. Pengakaderan berarti proses bertahap dan terus-menerus sesuai tingkatan, capaian, situasi dan kebutuhan tertentu yang memungkinkan seorang kader dapat mengembangkan potensi akal, kemampuan fisik, dan moral sosialnya. Sehingga, kader dapat membantu orang lain dan diri...

Tazkiyatun Nafs

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa (orang) memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Hasyr: 18) Ayat di atas dimulai dengan perintah bertaqwa kepada Allah dan diakhiri pula dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berpikir, serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah diisi dengan taqwa. Kemudian ayat di atas juga menjelaskan kepada orang yang mengaku beriman kepada Allah agar mempunyai langkah antisipatif terhadap kemungkinan apa yang terjadi esok. Syeikh Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam bukunya ‘Ruhniyatut Da’iyah’ mengajarkan kepada kita bagaimana meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT dengan cara melaksanakan lima ‘M’ yaitu: Mu’ahadah, muraqabah, muhasabah,  mu’aqabah dan mujahadah. Mu'ahadah Mu'ahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali ...

Pangan Fungsional

I.          Latar Belakang Salah satu penyebab meningkatnya penderita penyakit degeneratif di masyarakat adalah kerusakan sel tubuh sebagai akibat aktivitas unsur radikal bebas yang terdapat dalam bahan makanan. Keadaan ini bisa terjadi karena kurangnya asupan bahan-bahan aktif yang dapat mencegah reaksi autooksidasi dari radikal bebas tersebut. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dibutuhkan asupan makanan, baik berupa sayuran, buah-buahan yang merupakan sumber antioksidan. Aktivitas antioksidan dapat menangkap radikal bebas, sehingga sel-sel yang rusak dapat dicegah ataupun diperbaiki. Selain dari sayuran dan buah sumber antioksidan juga dapat berasal dari tanaman  obat, jahe, mengkudu, lidah buaya, pegagan, temulawak, asitaba dan lain-lain. Senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman tersebut dapat bermanfaat sebagai sumber antioksidan misalnya flavonoid, tanin, polifenol dan lain-lain. Tanaman biofarmaka yang berfung...