Sampai
detik ini, sosok Clementine itu masih jelas terpampang di depan mata,
membentuk sintesa fatamorgana tunggal untukku. Kapan pertama kali ia melebur ke
dalam ingatan, akupun tak tahu pasti. Hanya saja, dada ini sesak setiap kali
ingat dan mengharapkannya kembali mengiringi setiap langkah kakiku yang gontai.
Ya Tuhan, sejengkalpun aku tak pernah lupa paras cantiknya, matanya yang
cokelat dan berbinar, kecerdasannya dalam berdialektika, caranya melangkah yang
menyiratkan keanggunan dan kepastian, serta tawanya yang selalu terdengar
renyah dan membuat hati nyaman.
Setidaknya,
ada satu kebiasaanya yang kini enggan menjauh dariku. Aku suka menulis puisi
sambil bersenandung lembut, hal yang dulu sangat disukainya setiap kali kami
melakukan kunjungan ke rumah Bibi. Setelah selesai, kemudian melipat
kertas-kertas puisi itu dan menyimpannya rapi, jauh dari jangkauan orang lain. Aku
tahu persis bagaimana rasanya hati terguncang jika ada teman atau orang-orang
di sekitar yang mencoba membaca dan mengamati isinya. Cukup memalukan.
Meski
sayangnya, dulu aku tak pernah sadar. Sehingga di suatu hari kala keingintahuan
itu terlalu besar, aku mencuri baca puisi-puisinya lalu tertawa di beberapa
bagian yang menurutku cukup lucu untuk dibayangkan. Ia mengkerut marah, tapi setelah itu ia justru
menyodorkan puisinya secara sukarela untuk kubaca. Dan aku, aku selalu tak
berkeberatan melakukan apapun demi membuatnya senang, termasuk membaca
puisi-puisinya yang menurutku sedikit absurd. Imbalan yang cukup sepadan, aku
kira.
Kami
mempunyai sisi absurd yang sama, sebenarnya. Bedanya, jika ia menuangkan semuanya
dalam bentuk puisi, aku menuangkan segala absurd itu dalam bentuk cerita dan lagu. Ia
menutup sisi asli dari dunia luar, sebaliknya, aku begitu terbuka dan mengharapkan
orang lain mengenal dan memahamiku.
“Kita
memang disatukan untuk suatu tujuan, meskipun aku belum tahu apa tujuan itu”,
sebuah kalimat yang dituliskannya di antara bait puisi yang ia ciptakan
untukku. Oh Tuhan, sungguh, sosoknya yang begitu dramatik selalu mengalahkan
karakterku yang spontan dan suka membual. Bahkan hari itu, aku bersungguh-sungguh
menangis untuknya.
Persis di antara pukul satu hingga dua siang, usai sekolah, ia akan datang ke rumahku untuk sekedar membuatku menceritakan kejadian-kejadian di sekolah tadi pagi. Begitu setiap hari, hingga Ummi hafal betul kebiasaannya yang satu ini. Ia kadang datang sambil membawa buku peernya, lalu mengajariku beberapa mata pelajaran yang ia sukai. Ia satu tingkat di atasku, berbeda sekolah pula. Ia kelas satu SMP, sedangkan aku baru kelas enam SD. Jika mengajariku, ia benar-benar seperti guru, menjelaskan dengan rinci bagian ini dan itu, kadang bahkan ia menjewer kupingku kalau aku masih tidak mengerti setelah dua-tiga kali ia menjelaskan hingga mulutnya berbusa. Di waktu lain, ia datang sambil membawa gulali, jajanan favoritku. “Biar kamu lebih menghayati cerita”, katanya sambil tertawa cekikikan. Aku kurang menghayati, menurutnya. Ia mengeluh bahwa seringnya ketika bercerita, ekspresi dan jalan cerita yang kubawakan tidak singkron. Ceritaku selalu lucu dan konyol, tapi tatapanku selalu kosong dan intonasiku datar. Yah begitulah, kadang memang ia lebih detail dan bawel seperti ibu-ibu.
Setiap
hari libur, ia selalu mengajakku ke rumah bibinya. Bibi tinggal di daerah
pesawahan dan memiliki perkebunan jambu biji hingga berhektar-hektar luasnya. Setiap
kali kami berkunjung, ia sering memaksaku ikut memanjat ke salah satu pohon,
meski tak jarang aku menolaknya mentah-mentah. Aku takut ketinggian. Maka, jika
aku sudah benar-benar tidak mempan dipaksa, ia mempersilakanku berselonjor kaki
di bawah pohon, sedangkan ia dengan lincah memetik beberapa buah jambu yang
sudah matang untukku.
“Sih,
kalau aku pergi, kamu mau menulis satu saja puisi untukku tidak?” katanya pada
suatu hari. Aku terlalu asik memakan buah jambu, tidak sempat memperhatikan
raut wajahnya yang serius. “Mungkin, asalkan kamu bawakan aku sekantong besar
gulali” kataku asal, tertawa sendiri membayangkan betapa lucunya saat seseorang
sepertiku benar-benar menuliskan sebuah puisi. Ia diam.
“Oh
Tuhan! Lihat, yang itu besar sekali!” Kataku spontan sambil menunjuk buah jambu
besar di salah satu cabang. Ia mendongak. Setelah tahu kemana arah telunjukku,
ia bergegas memetiknya. Pertanyaan tadi terhenti, lalu kami tidak pernah lagi
membahasnya, bahkan hingga hari kepergiannya tiba.
Oh Tuhan, andai saja aku
tahu...
Comments
Post a Comment