Skip to main content

Mujahadatun Nafs

MAKNA MUJAHADATUN NAFS SECARA ETIMOL OGIS

Mujahadatun nafsi adalah susunan idhofah (kata majmu’) yang terdiri dari Mudlaf  (kata yang disandarkan) yaitu mujahadah, dan mudlaf ilahi (kata yang dijadikan sandaran) yaitu an-nafsi.
Mujahadah menurut Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab adalah: Menyapih jiwa dari syahwat dan melepaskan hati dari angan-angan rusak serta syahwat. Nafs dalam Bahasa Arab bermakna ruh, hati, hakikat, dzat sesuatu (Lisanul Arab), kebesaran, kesombongan, kebanggaan, obsesi, inti, dan harga diri.


MAKNA MUJAHADATUN NAFS SECARA TERMINOLOGIS

Memerangi jiwa yang selalu menyuruh berbuat buruk dengan cara memaksanya melakukan hal-hal yang berat, namun diperintahkan dalam syari’at (Dikutip dari At-Ta’rifat : 263 secara ringkas dan dengan sedikit perubahan). Ada pembagian lain mengenai jiwa sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Jurjani, yaitu jiwa nafs nabatiyah, nafs insaniyah, nathiqah dan lain sebagainya.
Al-Munawi berkata, “Dinyatakan bahwa mujahadah adalah memaksa jiwa melakukan hal-hal yang memberatkan fisik dan menentang hawa nafsu. Juga dinyatakan bahwa mujahadah adalah mencurahkan hal yang dimampui untuk melakukan perintah Dzat Yang ditaati; Allah azza wa jalla.” (At-Tauqif : 297)

Ibnu ‘Alan berkata, “Mujahadah adalah bentuk mufa’alah dari kata al-juhdu yang bermakna kemampuan. Maka manusia bermujahadah terhadap jiwanya dengan menggunakannya dalam hal-hal yang memberi manfaat, baik saat ini atau yang akan datang. Dan jiwa pun berjihad padanya untuk melakukan apa yang diinginkannya.” (Dalilul Falihin, 1 : 302)
Ibnu Hajar–rahimahullah mengomentari ungkapan Bukhari, “Bab siapa yang berjihad terhadap jiwanya dalam mentaati Allah azza wa jalla.”
Ini merupakan penjelasan keutamaan orang yang bermujahadah. Dan yang dimaksud mujahadah adalah: Menahan jiwa dari kehendak-kehendaknya yang dapat menyibukkannya dengan selain ibadah kepada Allah.


KARAKTER NAFSU

Nafsu itu seperti bayi yang masih menyusui (An-Nafsu Kaana Tiflun), yang jika dibiarkan maka dia akan menyusui terus dan jika dihentikan maka kita tidak akan tega melepaskannya.


SEBAB AKIBAT DARI MUJAHADATUN NAFS

Dalam QS. Al-Ankabut : 69, Allah SWT berfirman yang artinya;
"Dan orang-orang yang berjihad (melawan hawa nafsu) untuk mencari keridhoan Kami, benar-benar akan kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang baik".
Dari ayat ini, bisa dipahami bahwa lahirnya hidayah adalah dampak dari mujahadatun nafs. Mujhadatun nafsu adalah upaya manusia, sedangkan hidayah adalah anugrah yang Allah berikan kepada manusia, dan hal ini tidak akan terlaksana kecuali dengan bantuan dan pertolongan Allah SWT. Oleh karena itu kita diajarkan agar dalam shalat senantiasa membaca iyyakana'budu wa iyya kanasta'iin, "hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami mohon pertolongan".

Mujahadatun Nafs adalah sarana untuk menggapai petunjuk hati manusia menuju Allah SWT dan keridhaan-Nya. Hal ini adalah langkah awal menuju taqwa, sebagaimana dalam firman Allah QS. Muhammad : 17, yang artinya;
"Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketakwannya”.


CARA BERMUJAHADAH

Ibnul Jauzi berkata, “Menurutku, seluruh makhluk dalam pertempuran. Dimana syetan-syetan menghujani mereka dengan panah nafsu dan menyabet mereka dengan pedang kelezatan. Orang orang yang mencampur kebaikan dengan kejahatan akan terkapar di awal pertempuran. Sedangkan orang-orang yang bertaqwa terus berjihad. Dan jihad ini membutuhkan waktu yang lama; mereka terluka dan melakukan pengobatan. Mereka terhindar dari kematian, namun luka di wajah dapat memperburuk muka, karena itu para mujahid harus selalu waspada”.

Abu Amr bin Bujaid meriwayatkan, “Siapa menganggap mulia agamanya, maka ia akan menganggap hina jiwanya”.

Al-Qusyairi berkata, “Pokok mujahadah terhadap jiwa adalah menyapihnya dari hal-hal yang menjadi kebiasaannya dan memaksanya pada hal-hal yang tidak disukai nafsunya. Jiwa itu ada dua macam; Jiwa yang tenggelam dalam syahwat dan jiwa yang enggan melakukan ketaatan. Mujahadah berada sesuai kondisi masing-masing”.

Sebagian ulama mengatakan, “Jihad terhadap jiwa masuk dalam kategori jihad terhadap musuh. Sebab musuh itu ada tiga; Pimpinan mereka adalah syetan, kemudian jiwa karena ia mengajak kepada kelezatan yang mengantar kepada keharaman yang dimurkai oleh Allah. Dan syetan adalah pembantu dan penghias jiwa agar melakukannya. Karena itu siapa yang menentang hawa nafsunya, berarti telah mengalahkan syetan yang menyertainya. Dengan demikian, mujahadah terhadap jiwa adalah memaksanya untuk mengikuti perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Apabila seorang hamba telah mendapat kekuatan dalam hal tersebut, maka sangat mudah baginya berjihad melawan musuh-musuh agama. Jihad pertama (jihad terhadap syetan dan jiwa) adalah jihad batin. Sedangkan jihad yang kedua (jihad terhadap musuh agama) adalah jihad lahir. Jihad terhadap jiwa itu memiliki empat tingkatan:
  1. Memaksanya untuk mempelajari urusan-urusan agama
  2. Memaksanya untuk mengamalkan apa yang dipelajari
  3. Memaksanya untuk mengajarkan apa yang diketahui kepada orang yang belum mengetahui
  4. Menyeru kepada keesaan Allah dan memerangi orang yang menyimpang dari agama-Nya serta mengingkari nikmat-Nya

Pembantu yang paling kuat untuk berjihad melawan jiwa adalah jihad terhadap syetan, dengan cara membuang semua syubhat dan keraguan yang dibisikkannya, membentengi diri dari hal-hal haram yang dihiasi oleh syetan, dan mencegah diri dari memperbanyak hal-hal mubah yang dapat menjerumuskan pada syubhat. Untuk kesempurnaan mujahadah, hendaknya hamba selalu waspada pada jiwa dalam semua keadaannya. Sebab jika ia melupakannya, maka syetan dan jiwanya akan mengajaknya melakukan hal-hal yang dilarang. Dan hanya Allah yang memberi pertolongan”. (Fathul Bari, 11/345-346)

Al-Ghazali–rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa tiada jalan yang mengantar pada kebahagiaan di akhirat kecuali menahan jiwa dari hawa nafsu dan menentang syahwat. Ini merupakan hal yang wajib diimani. Sedang mengenai ilmu terperinci mengenai syahwat yang harus ditinggalkan dan yang tidak ditinggalkan, harus diketahui melalui syari’at.
Cara mujahadah dan latihan setiap orang berbeda-beda, sesuai kondisi masing-masing. Pada dasarnya, setiap orang perlu meninggalkan kegembiraan yang terkait dengan urusan dunia. Misalnya, orang yang gembira pada harta, kedudukan, simpati orang saat memberi nasihat, kemuliaan dalam peradilan atau kekuasaan, atau banyaknya pengikut saat mengajar. Hendaknya ia meninggalkan kegembiraan itu. Tetapi ketika dia meninggalkan kegembiraan itu, kemudian dikatakan padanya, “Pahalamu di akhirat tidak akan berkurang dengan sikap meninggalkan itu.”
Apabila ia benci ungkapan tersebut dan merasa sakit hati, maka itu salah satu tanda bahwa ia gembira dengan kehidupan dunia dan merasa nyaman dengannya. Dan ini merupakan hal yang dapat membinasakannya. Karena itu, sebaiknya ia menyendiri untuk mengevaluasi hatinya dan menyibukkannya hanya dengan dzikir kepada Allah serta memikirkan makhluk-makhluk-Nya. Kemudian hendaklah mengawasi syahwat dan bisikan yang muncul dalam jiwanya, sehingga dapat mengikatnya, meski telah nampak jelas. Setiap bisikan pasti ada sebabnya, dan bisikan tidak akan hilang kecuali dengan meninggalkan penyebabnya. Setelah itu hendaklah mengulangi tindakan-tindakan di atas sepanjang sisa usia, sebab jihad tidak akan berakhir kecuali bila kematian telah tiba.” (Ihyaa Ulumuddin, 3/67)

Ibnu Hajar–rahimahullah menyatakan dalam kitabnya Syarah al-Misykat, ketika menjelaskan Hadits dari Rabi’ah bin Ka’ab ra. yang memohon pada Nabi saw. agar dapat menemani beliau di surga, “Berjihad pada jiwanya dengan memperbanyak sujud.” Maka ia pun mendapatkan derajat yang tinggi itu, di mana tiada lagi harapan kecuali semakin dekat pada Allah di dunia dengan memperbanyak sujud, sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman-Nya :
“Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).” (Al-‘Alaq : 19)
Setiap sujud adalah “pendekatan tertentu” yang dapat mengantar pelakunya menaiki tangga kedekatan (pada Allah), sehingga berakhir pada tingkatan menjadi teman Rasul tercinta saw. Dan dengan begitu ia mendapatkan seperti yang difirmankan Allah SWT:
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran : 31)
Dekat dengan Rasulullah saw tidak mungkin tercapai kecuali dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan kedekatan dengan Allah SWT tidak mungkin tercapai kecuali dengan kedekatan dengan Rasulullah saw. Dua kedekatan itu saling mempengaruhi, satu tidak mungkin dipisahkan dari yang lainnya. Karena itulah, Allah menempatkan tindakan mengikuti Rasul-Nya diantara dua kecintaan untuk mengajarkan kepada kita, bahwa cinta hamba kepada Allah dan cinta Allah kepada hamba-Nya sangat tergantung pada tindakan mengikuti RAsulullah saw.” (Dalilul Falihin, 1/318)

Ibnu Hajar menambahkan, “Berjihadlah pada jiwamu dengan pedang-pedang latihan. Dan latihan itu ada empat macam:
  1. Makan yang hanya sekedar menghilangkan lapar;
  2. Sedikit tidur;
  3. Sedikit bicara; dan
  4. Menanggung gangguan dari seluruh manusia.



TAHAPAN-TAHAPAN DALAM MUJAHADATUN NAFS

Pertama, beriman kepada Allah SWT serta meyakini Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT. Seorang apabila telah beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya maka konsekuensi logisnya dia senantiasa melaksanakan apa yang menjadi perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, senantiasa menjadikan Rasulullah SAW sebagai suri tauladan dalam menjalani kehidupan ini, juga senantiasa menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup sehingga Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada hatinya sebagaimana dalam firman Allah QS.At Taghabun : 11, yang artinya;
"Barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya ".


Kedua, mengerjakan kewajiban prioritas. Tahapan kedua dari mujahadatun nafsu adalah mengerjakan kewajiban-kewajiban prioritas, misalnya shalat tepat waktu, puasa dan zakat di bulan ramadhan, haji, menikah, menyambung tali silaturahmi dan berbakti kepada orang tua. Setelah itu mestinya juga senantiasa memperhatikan adab-adab dalam melakukan segala aktifitas dimanapun berada. Hal ini adalah masalah yang melengkapi kewajiban prioritas.                                                                               

Comments

Popular posts from this blog

Tahapan Kaderisasi

Kader berasal dari bahasa Yunani cadre yang berarti bingkai. Bila dimaknai secara lebih luas, berarti : Orang yang mampu menjalankan amanat. Orang yang memiliki kapasitas pengetahuan dan keahlian. Pemegang tongkat estafet sekaligus membingkai keberadaan dan kelangsungan suatu organisasi Kader adalah ujung tombak sekaligus tulang punggung kontinyuitas sebuah organisasi. Secara utuh kader adalah mereka yang telah tuntas dalam mengikuti seluruh pengkaderan formal, teruji dalam pengkaderan informal dan memiliki bekal melalui pengkaderan non formal. Dari mereka bukan saja diharapkan eksistensi organisasi tetap terjaga, melainkan juga diharapkan kader tetap akan membawa misi gerakan organisasi hingga paripurna. Pengakaderan berarti proses bertahap dan terus-menerus sesuai tingkatan, capaian, situasi dan kebutuhan tertentu yang memungkinkan seorang kader dapat mengembangkan potensi akal, kemampuan fisik, dan moral sosialnya. Sehingga, kader dapat membantu orang lain dan diri...

Tazkiyatun Nafs

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa (orang) memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Hasyr: 18) Ayat di atas dimulai dengan perintah bertaqwa kepada Allah dan diakhiri pula dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berpikir, serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah diisi dengan taqwa. Kemudian ayat di atas juga menjelaskan kepada orang yang mengaku beriman kepada Allah agar mempunyai langkah antisipatif terhadap kemungkinan apa yang terjadi esok. Syeikh Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam bukunya ‘Ruhniyatut Da’iyah’ mengajarkan kepada kita bagaimana meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT dengan cara melaksanakan lima ‘M’ yaitu: Mu’ahadah, muraqabah, muhasabah,  mu’aqabah dan mujahadah. Mu'ahadah Mu'ahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali ...

Pangan Fungsional

I.          Latar Belakang Salah satu penyebab meningkatnya penderita penyakit degeneratif di masyarakat adalah kerusakan sel tubuh sebagai akibat aktivitas unsur radikal bebas yang terdapat dalam bahan makanan. Keadaan ini bisa terjadi karena kurangnya asupan bahan-bahan aktif yang dapat mencegah reaksi autooksidasi dari radikal bebas tersebut. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dibutuhkan asupan makanan, baik berupa sayuran, buah-buahan yang merupakan sumber antioksidan. Aktivitas antioksidan dapat menangkap radikal bebas, sehingga sel-sel yang rusak dapat dicegah ataupun diperbaiki. Selain dari sayuran dan buah sumber antioksidan juga dapat berasal dari tanaman  obat, jahe, mengkudu, lidah buaya, pegagan, temulawak, asitaba dan lain-lain. Senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman tersebut dapat bermanfaat sebagai sumber antioksidan misalnya flavonoid, tanin, polifenol dan lain-lain. Tanaman biofarmaka yang berfung...