“MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN
GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN.”
Begitulah
pesan yang tertulis pada setiap kemasan produk rokok yang kerap kali dijumpai
di pasaran. Bijak sekali, pesan ini disampaikan langsung oleh perusahaan
produsen rokok sebagai peringatan kepada konsumen bahwa rokok dapat menyebabkan
berbagai gangguan pada fisiologi tubuh manusia. Bukan hanya itu, pamflet,
brosur, poster, baligo, dan segala media tertulis maupun media elektronik
lainnya digunakan untuk menyampaikan pesan tersebut. Sayangnya, pesan tinggal
sekedar pesan, karena tetap saja rokok menjadi produk yang banyak digemari oleh
sebagian besar kalangan masyarakat.
Institut
Teknologi Bandung (ITB) merupakan salah satu kampus terbaik di Indonesia dengan
mahasiswa yang heterogen. Meski memiliki mahasiswa yang berasal dari berbagai
daerah, kampus ITB melalui lembaga pemersatu mahasiswa yang bernama “himpunan”
berhasil menyatukan mahasiswa di setiap kelompok keahlian sehingga tercipta
suasana yang kondusif. Namun karena keadaan mahasiswa yang heterogen tersebut,
budaya yang menyebar di kampus pun kian semarak. Salah satunya adalah budaya
merokok mahasiswa yang dinilai sering sekali mengganggu kertertiban dan
aktivitas belajar mahasiswa lain.
Anonim
(off record), anggota HIMATEK angkatan 2009 merupakan salah satu mahasiswa yang
mengaku sangat bergantung pada produk rokok yang kini merajalela di pasaran.
Pasalnya, sejak duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga, Anonim ini sudah
mencoba menghisap rokok hingga menyebabkannya mengalami kecanduan sampai
sekarang. “Dulu, sih, sempat berhenti merokok. Tapi akhirnya mulai lagi
(merokok : red) gara-gara banyaknya tekanan yang bikin stress. Tahu kok bahwa
ngerokok itu bahaya, tapi kalau sudah kecanduan itu susah (berhenti : red).”
Menurut
Anonim, lingkungan merupakan faktor utama yang membuatnya mulai mengkonsumsi
rokok. Berawal dari ikut-ikutan teman sampai berujung pada kebiasaan yang
menyebabkan ketergantungan. Biarpun begitu, pemerintah pun dinilai kurang tegas
karena tidak mampu memberikan undang-undang yang jelas tentang larangan merokok
bagi anak dengan usia di bawah umur. Akibatnya, dewasa ini, banyak pelajar yang
dengan leluasa merokok di jalanan dan tempat-tempat umum tanpa mendapat teguran
dari orang-orang di sekitarnya. “Gue sih menyingkir aja kalo lagi ngerokok di
kampus atau di himpunan terus ada yang negur”, ungkap Anonim saat ditanyai
tentang kegiatannya merokok di kampus. “Kalau di himpunan gue kan udah ada
spot-spot untuk perokok, jadi gue ngerokoknya di sana”, lanjutnya.
Menanggapi
Anonim, Indah Rosidah Maymunah, salah satu anggota HIMAFI angkatan 2010 juga
setuju dengan adanya pembuatan spot-spot bagi perokok. Hanya saja, menurut
Indah, pembuatan spot ini dinilai kurang merata karena masih ada beberapa
himpunan di wilayah kampus yang tidak dibuatkan spot bagi perokok sehingga
banyak mahasiswa yang merokok di himpunan dan mengganggu aktivitas mahasiswa
lain. “Kalau merokok di spot perokok kan masih bisa ditoleransi. Tapi kalau ada
mahasiswa yang merokok di himpunan gara-gara di himpunan tersebut tidak ada
spot bagi perokok, kan, itu bisa mengganggu mahasiswa yang ada di sana”,
keluhnya.
Indah
sendiri mengaku sering kali menemukan mahasiswa yang merokok di kampus dan
tidak menempati spot khusus perokok. Karena kesal, Indah pun akhirnya menegur
mahasiswa tersebut. Tanggapan yang diberikan oleh mahasiswa yang ditegur bisa
bermacam-macam, dari menerima teguran lalu menyingkir sampai menegur balik.
Tapi bagi Indah, teguran itu lebih baik diberikan secara terus-menerus daripada
menemukan perokok yang merokok sembarangan di tempat umum di wilayah kampus
secara leluasa tanpa merasa mengganggu mahasiswa lain yang sedang beraktivitas.
Saat
diminta tanggapan tentang salah satu program Himpunan Mahasiswa Farmasi (HMF)
yang bernama Gerakan Perlindungan Perokok Pasif (GP3), keduanya, Anonim dan
Indah, mengaku belum pernah mendengar tentang gerakan tersebut. “Sejauh ini
belum pernah dengar tentang GP3 ini. Tapi kalau tujuan utamanya adalah untuk
melindungi perokok pasif dan memberikan sikap yang tegas bagi perokok aktif,
saya sangat setuju asalkan kegiatan dilaksanakan secara kontinyu. Follow-up pun
harus dilakukan agar kegiatan berjalan lebih efektif”, jelas Indah.
Anonim
yang merupakan perokok aktif pun menjelaskan tentang targetnya yang ingin
berhenti dari kecanduan rokok. Meski dianggap akan sedikit sulit, tapi Anonim
yakin dapat melakukannya. Setelah mendapat banyak penyuluhan dan mempelajari
sendiri tentang bahaya merokok, Anonim merasa tidak berkeberatan untuk berhenti
dari aktivitas merokoknya. Bukan hanya itu, Anonim juga memberikan respon
positif terhadap keberadaan GP3 di kampus ITB. Menurutnya, gerakan ini akan
dapat membantu masyarakat dan pemerintah untuk mengurangi jumlah perokok di
kalangan masyarakat, khusunya mahasiswa. (Asih Purnamasari)
Comments
Post a Comment