Dua tahun lalu, saya pernah melalui serangkaian tes penerimaan karyawan di salah satu klinik kecantikan terbesar di Indonesia dengan posisi Supervisor Cabang. Pada saat itu saya sudah mencapai tahap akhir, yaitu wawancara dengan bagian HRD.
Pada saat wawancara, semua berjalan dengan sangat lancar. Semua topik mampu saya jawab dan saya merasa bahwa jawaban yang saya berikan cukup memuaskan. Namun, tiba di topik akhir, pewawancara menanyakan apakah saya bersedia melepas jilbab. Sebab di klinik tersebut supervisor tidak diperkenankan memakai jilbab. Tentu jawaban saya tidak lain dan tidak bukan adalah sangat keberatan, sebab jilbab merupakan prinsip bagi saya. Muslimah itu wajib berjilbab.
Terlepas dari syarat tersebut, saya memberikan sebuah opini kepada pewawancara. Saya katakan, klinik muslimah kedepannya memiliki potensi berkembang yang sangat besar. Hal ini terlihat dari populernya produk kecantikan yang dikhususkan untuk muslimah, baik itu skincare maupun make up. Dan terbukti, belakangan di media sosial banyak para seleb beramai2 hijrah untuk mengenakan jilbab. Di instagram contohnya, mereka mempopulerkan jilbab lengkap dengan tutorial jilbab dan gaya bermakeupnya. Maka dari itu, klinik yang sudah besar harusnya bisa semakin menjangkau kaum muslimah karena packaging nya dibuat nyaman untuk mereka yang berjilbab. Namun sayangnya, hasil akhir tes saya dinyatakan gagal.
Tidak lama berselang setelah itu, saya kembali melalui serangkaian tes kerja di salah satu klinik kecantikan di bilangan Jakarta Barat dengan posisi Regulatory Officer. Tiba di bagian wawancara dengan user, pewawancara secara terbuka menyatakan bahwa saya tidak qualified dikarenakan background pendidikan yang hanya S1 (belum apoteker).
Namun, ada hal yang menarik di sini. Beliau tiba-tiba melakukan sambungan telefon ke manajer bagian lain dan menanyakan apakah ada posisi kosong untuk supervisor produk. Usut punya usut, ternyata beliau sangat tertarik dengan kemampuan komunikasi saya. Hingga setelah itu, beliau menyuruh saya untuk kembali datang minggu depan.
Sepekan berlalu, saya kembali menuju klinik tersebut menemui pewawancara yang lain, yang ternyata beliau adalah pimpinan langsung bagian HRD. Wawancara saat itu berjalan dengan lancar, namun lagi-lagi topik seputar jilbab ini ada. Beliau menyatakan bahwa di klinik tersebut tidak dibolehkan supervisor memakai jilbab. Dan lagi, tentu saya menolak untuk melepas jilbab. Dan hasilnya, ya, saya gagal. Sebetulnya saat itu saya sempat ditawari posisi marketing meski klinik tersebut sedang tidak butuh personal marketing tambahan, dan tentu saya sangat menghargainya. Namun karena satu dan lain hal saya memilih mundur.
Satu pertanyaan yang ingin saya tanyakan, apakah saat ini masih berlaku aturan tersebut? Saya ingin bertanya kepada perusahaan2 yang melarang karyawannya berjilbab, memang ada apa dengan jilbab? Jilbab adalah identitas seorang muslimah dan dia wajib mengenakannya. Apakah dengan jilbab kemudian bisa mempengaruhi kinerja perusahaan atau bahkan membuat citranya menjadi buruk? Bukankah dengan melarang karyawan berjilbab justru membuat perusahaan melanggar hak asasi bagi individu yang bekerja di perusahaan tsb?
Saya mungkin adalah salah satu yang memegang prinsip saya dengan teguh. Tapi banyak pula saya temui para muslimah di sekitar saya yang pada akhirnya menyerah dan memilih melepas jilbabnya demi mendapatkan pekerjaan di luaran sana. Dan saya hanya bisa menyesalkan kejadian tersebut.
Ya, tapi itu dua tahun lalu yaa...
Mudah-mudahan kini tidak. Mudah-mudahan hari ini perusahaan lebih open minded dan mendukung karyawannya untuk teguh menjalankan prinsip keyakinannya.
Comments
Post a Comment