Di suatu desa yang amat
terpencil, adalah sebuah danau yang cukup sering didatangi orang, baik oleh
penduduk setempat maupun turis dari berbagai daerah. Tujuan mereka sebenarnya
hanya untuk memenuhi satu hal, yaitu menatap sekuntum bunga teratai putih yang tumbuh
subur tepat di tengah-tengah danau tersebut.
Bunga teratai itu memang
nampak elok dipandang, merekah lebar lagi semakin bercahaya kala mentari
menyembul dari balik awan di ketinggian langit lalu mengenai kelopaknya satu
demi satu. Ya Tuhan, siapa pula yang tidak akan jatuh cinta padanya? Jangankan
sehari itu, berapapun lamanya rasanya kedua mata tak akan pernah bosan untuk
terus menatapnya.
Namun sungguh malang,
teratai itu sohor pula dengan perangainya yang angkuh dan sombong. Dari sekian banyak
pengunjung yang datang dan menyapanya ramah, ia lebih sering diam dan justru
acuh menganggap mereka tak ada. Ia sering sibuk sendiri menatap langit,
sesekali merunduk menyembunyikan kelopak-kelopak mahkotanya, lebih sering lagi sibuk
melambai-lambai terbawa arus angin kencang yang menerpanya riuh rendah dari
seberang danau. Para pengunjung pun akhirnya tahu, bahwa selain mentari yang hadir
di setiap pagi, teratai tak pernah benar-benar membutuhkan teman. Ah, teratai
putih, mengapa buruk nian perangaimu?
Meski demikian, para
pengunjung itu tak pernah beranjak bosan. Mereka masih tetap datang dan datang lagi
setiap hari. Rupanya rasa penasaran kala itu lebih menguasai mereka dibanding
sakit hati yang terlanjur ditorehkan oleh perangai teratai putih yang sungguh
buruk itu.
![]() |
Sumber Gambar |
Hingga suatu waktu, ketika mentari
nampak kelelahan dan perlahan ia kembali merayap menuju singgasananya. Suara ribuan
jangkrik di sekitar danau pun menyematkan nuansa orkestra malam yang berdengung
menyayat telinga. Para pengunjung sudah tidak tersisa sejak sekian jam lalu, kecuali
jejak-jejak sepatu berlumpur di sekitar danau beserta sampah-sampah alas duduk untuk
menatapnya seharian tadi. Sebenarnya pemandangan seperti itu sudah terasa
sangat biasa bagi teratai putih. Esok pagi pasti akan ada pengunjung lagi, lalu
pengunjung-pengunjung itu akan kembali pergi ketika senja berlalu. Begitu seterusnya.
Namun malam ini, teratai putih tertunduk menatap bayangannya sendiri yang
terpantul di permukaan air danau. Lalu tetiba tangisnya tak bisa ditahan juga. Ia
jatuh terisak. Sendirian di tengah-tengah gelapnya malam. “Mereka tidak tahu,
sungguh tidak tahu”, katanya lirih.
Di kejauhan, terdengar suara
kecipak dayung yang berlalu di antara lapisan air. Perlahan suaranya semakin
jelas terdengar, rupanya ia semakin mendekat.
“Kau masih saja gemar
menangis”, sapa seseorang di atas perahu, yang kini sudah menempatkan perahunya
tepat di hadapan teratai putih. Teratai putih mendongakkan wajah lalu menatap
orang tersebut lamat-lamat. Alih-alih reda, tangisnya justru semakin keras. Orang
itu hanya tersenyum teduh.
“Kenapa malam ini kau datang
terlambat?” teratai putih akhirnya bertanya. Lalu sepanjang malam itu, seperti
malam-malam yang telah lalu, mereka menghabiskan waktu bersama, berbagi pilu
serta gelisah.
Kamu,
Yang tak pernah tahu di mana
hatinya berada
Diam dan dengarkan saja
Ada banyak alasan untuk
membencinya
Tapi ada lebih banyak lagi
alasan bagimu untuk percaya dan mendengarkan ia bercerita
Kamu hanya butuh berlatih
sabar
Sungguh, kamu hanya butuh berlatih
sabar
Comments
Post a Comment